Kamis, 08 Desember 2011

Perlu Revitalisasi Industri Teh






Teh selama ini memang lebih berfungsi sebagai salah satu bahan perasa minuman. Karena memiliki manfaat, terutama untuk kesehatan, teh menjadi minuman favorit di berbagai belahan dunia.
Sejatinya, teh tak hanya digunakan untuk minuman. Semua bagian tanaman teh, kini bisa digunakan sebagai bahan-bahan kosmetik. Teh juga bisa bermanfaat untuk perawatan gigi, kulit, dan rambut.
Sekarang, tak aneh lagi menemukan teh yang digunakan untuk lotion, krim antiseptik, produk perawatan rambut seperti shampo atau kondisioner, perawatan mulut seperti pasta gigi, obat kumur, dan pelindung bibir, deodoran, produk pembersih seperti sabun. Dia juga jadi campuran alat pembersih kulit, perawatan tubuh, perawatan kaki, produk pelindung tubuh dari sengatan matahari atau yang diperlukan selama perjalanan.
Beragam manfaat tersebut tentu tak lepas dari keberadaan senyawa-senyawa dan sifat-sifat yang ada pada daun teh. Setidaknya terdapat 450 senyawa organik dan lebih dari satu senyawa anorganik bisa ditemukan dalam daun teh. Menurut Tea Board India, dalam secangkir teh terkandung energi sekitar 4 kkal, di samping flour, mangan, vitamin B kompleks, asam nikotinat, dan asam pantotenat.
Kandungan ini membuat konsumsi teh per kapita menjadi sangat tinggi. Teh merupakan minuman yang populer di Indonesia. Konsumsi teh di Indonesia mencapai 0,8 kg per kapita per tahun. Sayangnya, angka itu masih jauh di bawah negara-negara lain di dunia walaupun Indonesia merupakan negara penghasil teh terbesar keenam di dunia.
Berdasarkan data terakhir, konsumsi teh per kapita paling tinggi adalah Turki dengan 2,1 kg. Setelah itu baru Inggris, negeri yang menjadikan teh sebagai perlambang aristokrasi, dengan 2,1 kg. Penduduk Maroko, negara di Afrika Utara, rata-rata mengkonsumsi 1,4 kg teh setiap tahunnya.
Dari sisi produksi, India menjadi penghasil teh terbesar di dunia. India memiliki wilayah perkebunan teh paling besar dan terkenal, yakni Darjeerling, Assam, dan Nilgiri.
Sementara di Indonesia, produksi teh sejak tahun 2002 mengalami penurunan. Padahal, harga teh nasional dan internasional terus melonjak. Hal ini disebabkan agribisnis teh belum pulih sehingga kualitas dan produksi turun. Karena itu penting membuat pasar teh Indonesia.
“Untuk itu harus dicari terobosan bagaimana kita menciptakan hal baru,” ujar Agus Pakpahan, Deputi Meneng BUMN bidang Agro Industri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan baru-baru ini di Jakarta.
Salah satunya adalah dengan mengadakan Indonesia Tea Auction atau lelang teh Indonesia sehingga banyak mendatangkan pembeli. Aktivitas itu, diyakini, akan berimbas pada agrobisnis teh nasional.
Produksi teh Indonesia pernah mencapai rekornya pada 169 ribu ton pada tahun 2003. Setahun sebelumnya, angka itu masih 162 ribu ton. Setelah itu, produksi teh terus melorot, yakni 160 ribu ton (2004), 156 ribu ton (2005), 140 ribu ton (2006) dan tahun lalu 150 ribu ton.
“Sejak 2002 produksi kita yang pernah mencapai 160 ribu ton, saat ini tinggal 140 ribu ton,” imbuh Agus. Padahal konsumsi dunia sedang naik, harga teh internasional pun mencapai US$ 1,93 per kg. Angka itu cukup jauh di atas harga nasional yang US$ 1,34 per kg.
Ketua Umum Asosiasi Teh Indonesia, Insyaf Malik, mengakui kondisi teh nasional masih stagnan. Mutu produk yang kurang konsisten menyebabkan teh Indonesia kalah bersaing dengan produk teh yang diekspor sejumlah negara pesaing.
Di pasar dunia, teh Indonesia hanya dihargai US$ 1,4 per kg. Harga itu masih jauh lebih rendah dibanding teh Kenya yang US$ 2 per kg dan Sri Lanka yang US$ 1,8 per kg.
“Sehingga Indonesia hanya menempati posisi ke lima pengekspor teh dunia setelah Kenya, Cina, Sri Lanka dan India,” Insyaf menjelaskan.
Untuk mendongkrak produktivitas nasional, bisa dilakukan melalui produktivitas kebun yang telah lama tidak dikelola sesuai standar yang berlaku. Selain itu, kualitas bibit juga sangat penting untuk menghasilkan pucuk teh sesuai standar.
Khusus untuk BUMN, Insyaf berharap perkebunan dapat terlibat dalam pemberdayaan petani teh melalui tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR).
Senada dengan Insyaf, Ketua Umum Dewan Teh Indonesia Abdul Halik menyatakan dari luas perkebunan teh yang mencapai 142 ribu hektare, 49% milik rakyat, 29% milik BUMN, dan 25% milik swasta. Namun dengan jumlah lahan rakyat yang terluas hanya memproduksi 23%, sedangkan BUMN mencapai 40%-nya. “Perkebunan teh milik rakyat itu harus direvitalisasi,” kata Halik.
Dalam waktu dekat, lanjut Halik, Dewan Teh Indonesia akan memprakarsai satu merek produksi teh dari PT Perkebunan Nusantara IV, VII,VIII dan XII, dengan nama teh PTPN. Dengan satu merek, diharapkan mutunya akan terjaga.

0 komentar:

Posting Komentar

Author

industri rumahan
Lihat profil lengkapku

Pengikut

pengunjung .

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

search ?