Industri Tekstil Berpotensi Meningkat
Krisis global saat ini juga mengena ke industri tekstil, dan merupakan salah satu industri yang paling parah terkena dampaknya. Sangat banyaknya produk tektil Indonesia diekspor ke Amerika Serikat dan ke Uni Eropa merupakan salah satu penyebabnya.Dampak seperti ini akan memicu lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan.Berdasar proyeksi Institute for Development Economics and Finance (Indef), tingkat pengangguran dan kemiskinan pada 2009 akan mencapai 9,5% dan 16,3%. Ekonom Indef M Ikhsan Modjo menuturkan, angka tersebut jauh di atas target pemerintah,yaitu tingkat pengangguran dan kemiskinan masingmasing 7–8% dan 12,5%.
Proyeksi itu juga jauh di atas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009 dengan target angka pengangguran dan kemiskinan masing-masing 5,1% dan 8,2%. ”Lonjakan angka kemiskinan dan pengangguran bermula dari hantaman krisis global terhadap kegiatan ekonomi domestik,” ujar Modjo dalam paparan bertajuk ”Krisis Finansial, Kontestasi Politik, dan Prospek Ekonomi 2009”di Jakarta kemarin.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Februari 2008 tingkat pengangguran terbuka mencapai 8,46%,atau 9,43 juta orang. Angka itu turun 1,29% (1,12 juta orang ) dibanding Februari 2007, 9,75% (10,55 juta orang). Ikhsan Modjo menjelaskan,jumlah pengangguran berpotensi meningkat lantaran krisis saat ini berbeda dengan tahun 1997-1998.Sekarang ini krisis menghantam tidak hanya sektor padat modal, melainkan juga padat karya. Indikasinya, krisis tidak hanya memukul sektor produksi yang tidak diperdagangkan (non-tradable) seperti perbankan dan keuangan. Tetapi juga memukul sektor tradable seperti manufaktur, maupun tekstil dan produk tekstil (TPT).Dampak krisis terutama dirasakan oleh sektor tradable yang berorientasi ekspor.
Kondisi ini semakin parah lantaran fleksibilitas pasar tenaga kerja dalam mengatasi gangguan juga semakin diragukan. Akibatnya, banyak perusahaan, terutama yang berorientasi ekspor, tidak memperpanjang kontrak pekerja. Tetapi terlalu dini apabila perusahaan mengambil keputusan untuk langsung melakukan PHK terhadap para karyawannya. Salah satu cara untuk menghindari PHK adalah dengan mengajukan penangguhan pembayaran UMP. PHK merupakan pilihan terakhir cara tersebut karena memerlukan biaya besar.
Akan tetapi, meski dihempas krisis keuangan global dan penurunan permintaan, pelaku industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) optimistis kinerja TPT 2008 akan mengalami kenaikan hingga akhir tahun 2008. “Di tengah krisis keuangan global, diestimasikan kinerja industri TPT hingga akhir tahun 2008 terjadi kenaikan,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Sutrisno, di Depdag, Jakarta, Jumat (14/11).
Benny mengaku optimis kinerja TPT 2008 terjadi kenaikan nilai yakni 10,84 miliar dolar AS atau naik sebesar 8,33 persen dengan volumenya menjadi 2,012 juta ton atau naik sebesar 7,45 persen. Sedang untuk forecast tahun 2009 diperkirakan akan naik dari tahun 2008 sebesar 2,18 persen atau senilai 11,07 miliar dolar AS dengan volume menjadi 2,064 juta ton atau naik sebesar 2,6 persen.
Hal senada disampaikan Dirjen Industri Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian Anshari Bukhari. Menurutnya, industri tekstil masih berpotensi meningkat. Hal itu, didasari adanya pebisnis ulung di industri tekstil yang sudah berkembangselama 30 tahun.”Pebisnis tekstil generasi kedua juga berpendidikan maju. Sehingga manajemen industri tekstil akan lebih baik,” ujar Anshari.
Selain itu, katanya, industri tekstil didukung oleh struktur industri yang kuat serta tenaga kerja yang terampil. Dari sisi pemakaian energi, sekitar 15 sampai 20 persen perusahaan tekstil sudah beralih menggunakan energi batubara. Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh akibat krisis keuangan global yang tengah berlangsung, untuk sementara bisa dihindari setelah harga bahan bakar jenis solar turun Rp 700 dari Rp 5.500 per liter menjadi Rp 4.800 per liter. Penurunan harga solar ini bisa mengurangi beban produksi perusahaan. Setidaknya, pengusaha bisa sedikit bernapas lega dan untuk PHK sementara bisa diminimalkan. Penurunan solar cukup memperingan beban produksi perusahaan. Selama ini, biaya solar berkontribusi sekitar 13 persen dari total biaya produksi. Sebagian besar untuk menggerakkan alat-alat produksi dan genset.
Kalangan dunia usaha juga mendesak pemerintah lebih ekspansif dalam mendorong belanja. Hal itu diperlukan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi,demi mencegah lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan. “Pemerintah harus terus ekspansif dengan mendorong perbankan berani memberikan kredit kepada masyarakat yang daya belinya semakin rendah,” kata Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa.Erwin mengatakan, kebijakanpemerintahmenurunkan harga premium pada awal Desember mendatang tidak akan terlalu menolong daya beli masyarakat. Karena itu, pemerintah mesti mempercepat realisasi belanja, terutama infrastruktur. ”Kebijakan ini akan lebih berdampak pada upaya mengurangi pengangguran dan kemiskinan,”katanya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Chris Kanter berpandangan, pemerintah bisa menjaga momentum pertumbuhan dengan meningkatkan belanja dan menjamin penyerapan maksimal sejak awal 2009. Prioritas utama yakni dengan mempercepat penyelesaian infrastruktur.”Ini akan menghasilkan efek berganda yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat,”ujarnya. Di bagian lain, Dosen Fakultas Ekonomi UI Ninasapti Triaswati mengatakan,upaya mempercepat belanja dengan menggelontorkan dana Rp120 triliun dalam jangka waktu sebulan bisa mendorong perekonomian.Kendati begitu, pemerintah mesti mewaspadai potensi inefisiensi dan penggelembungan anggaran. “Itu memang bagus apabila pemerintah mengeluarkan inisiatif untuk memperbesar penyaluran anggaran. Namun, bukan berarti tanpa risiko,”katanya.
Peluang peningkatan penyerapan TPT oleh pasar dalam negeri juga akan meningkat, menyusul akan banyaknya kampanye yang dilakukan partai politik pada triwulan III tahun ini. Permintaan kaos, bendera, dan rompi partai serta atribut lainnya untuk mendukung kampanye partai politik menjelang pemilihan umum (pemilu) legislatif 2009 akan mendongkrak peningkatan permintaan yang cukup signifikan. Namun, yang perlu diwaspadai adalah masih adanya ancaman produk TPT impor, terutama dari China yang murah, meskipun produk China mulai melemah daya saingnya menyusul naiknya biaya produksi di negara tersebut akibat kebijakan nilai tukar mata uang negara itu yang terbuka dan biaya buruh yang meningkat. Selain dari atribut parpol, pasar domestik masih berpeluang menyerap TPT, terutama untuk pakaian seragam dan batik, serta kaos berlabel distro.
Menguatnya nilai mata uang Euro terhadap dolar AS juga membuat peluang peningkatan pasar ekspor TPT Indonesia semakin terbuka, karena hal ini mendorong pembeli asing (buyers) di kawasan Uni Eropa (UE) meningkatkan pembelian ke negara yang menggunakan transaksi dolar, seperti Indonesia, Vietnam, dan India. Selain itu, Vietnam yang pertumbuhan ekspor TPT terutama garmen sangat tinggi mencapai sekitar 30% tahun 2007 membutuhkan sejumlah bahan baku, seperti kain dan benang dari Indonesia yang memiliki basis industri TPT yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Pada triwulan I 2008 ekspor TPT Indonesia tumbuh 5,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu dari US$2,45 miliar menjadi US$2,58 miliar. Jadi, peluang ekspor TPT nasional semakin terbuka lebar untuk pasar UE dan Jepang, menyusul perjanjian Kemitraan Ekonomi Indonesia – Jepang (IJEPA) maupun ASEAN-Jepang.