Slide Title 1

Aenean quis facilisis massa. Cras justo odio, scelerisque nec dignissim quis, cursus a odio. Duis ut dui vel purus aliquet tristique.

Slide Title 2

Morbi quis tellus eu turpis lacinia pharetra non eget lectus. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Donec.

Slide Title 3

In ornare lacus sit amet est aliquet ac tincidunt tellus semper. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Jumat, 16 Desember 2011

cara memasang ricenpost berjalan

1. Login dulu ke Akun Blogspot anda

·         2. Lalu pada halaman Dasbord Pilih dan Klik Rancangan


·         3. Setelah terbuka Laman rancangan Klik Tambah Gadget

 
 ·         4. Lalu pilih Widget HTML/JavaScript


·         5. Copy script berikut :
 
  <script type='text/javascript'>
//<![CDATA[
function RecentPostsScrollerv2(json)
{
var sHeadLines;
var sPostURL;
var objPost;
var sMoqueeHTMLStart;
var sMoqueeHTMLEnd;
var sPoweredBy;
var sHeadlineTerminator;
var sPostLinkLocation;
try
{
sMoqueeHTMLStart = "<MARQUEE onmouseover="this.stop();" onmouseout="this.start();" ";
if( nWidth)
{
sMoqueeHTMLStart = sMoqueeHTMLStart + " width = "" + nWidth + "%"";
}
else
{
sMoqueeHTMLStart = sMoqueeHTMLStart + " width = "100%"";
}

if( nScrollDelay)
{
sMoqueeHTMLStart = sMoqueeHTMLStart + " scrolldelay = "" + nScrollDelay + """;
}
if(sDirection)
{
sMoqueeHTMLStart = sMoqueeHTMLStart + " direction = "" + sDirection + """;
if(sDirection == "left" || sDirection =="right")
{
//For left and right directions seperate the headilnes by two spaces.
sHeadlineTerminator = "&nbsp;&nbsp;";
}
else
{
//For down and up directions seperate headlines by new line
sHeadlineTerminator = "<br/>";
}
}
if(sOpenLinkLocation =="N")
{
sPostLinkLocation = " target= "_blank" ";
}
else
{
sPostLinkLocation = " ";
}
sMoqueeHTMLEnd = "</MARQUEE>"
sHeadLines = "";
for(var nFeedCounter = 0; nFeedCounter < nMaxPosts; nFeedCounter++)
{
objPost = json.feed.entry[nFeedCounter];
for (var nCounter = 0; nCounter < objPost.link.length; nCounter++)
{
if (objPost.link[nCounter].rel == 'alternate')
{
sPostURL = objPost.link[nCounter].href;
break;
}
}

sHeadLines = sHeadLines + "<b>"+sBulletChar+"</b> <a " + sPostLinkLocation + " href="" + sPostURL + "">" + objPost.title.$t + "</a>" + sHeadlineTerminator;
}
document.write(sMoqueeHTMLStart + sHeadLines + sMoqueeHTMLEnd )
}
catch(exception)
{
alert(exception);
}
}
//]]>
</script>

<script style="text/javascript"> var nMaxPosts = 10; var sBgColor; var nWidth; var nScrollDelay = 180; var sDirection="left"; var sOpenLinkLocation="Y"; var sBulletChar="â&#65533;¢"; </script> <script style="text/javascript" src="http://BLOGKAMU.com/feeds/posts/default?alt=json-in-script&callback=RecentPostsScrollerv2"></script>

·         6. Terakhir klik SAVE
Ca 

cara memasang daftar isi di blog pada blogger

  1. Klik Posting, Laman Baru, kemudian Edit Laman, lalu Edit HTML
  2. Pada Judul Laman masukkan Daftar Isi
  3. Masukkan kode berikut pada kotak untuk isinya:

    <link href="http://abu-farhan.com/script/acctoc/acc-toc.css" media="screen" rel="stylesheet" type="text/css"></link>
    <script src="http://abu-farhan.com/script/acctoc/daftarisiv2-pack.js"></script>
    <script src="http://www.oblo.web.id/feeds/posts/summary?max-results=1000&amp;alt=json-in-script&amp;callback=loadtoc"></script>
    <script type="text/javascript">
    var accToc=true;
    </script>
    <script src="http://abu-farhan.com/script/acctoc/accordion-pack.js" type="text/javascript"></script>


    Kira-kira seperti di bawah ini
  4. Ganti www.oblo.id dengan alamat blog anda
  5. Terakhir, klik Tayangkan Laman.

cara memasang alexa pada blog

memasang alexa widget di blog kamu , berikut cara memasang nya :

Pertama kunjungi situs 
Alexa

Klik 
Get Traffic Widgets nanti akan muncul 3 pilihan wibget , silahkan pilih salah satu.

Masukkan alamat blog kamu di kolom yang tersedia, terus klik 
Build widget.
Alexa

Jika sudah nanti akan muncul script seperti gambar di bawah ini, kemudian copy script tersebut.

alexa

Langkah kedua : Masuk ke blogger dengan ID kamu

Klik Tata Letak kemudian klik tab Elemen Halaman

Tambahkan HTML/JavaScript.

Pastekan script tadi ke dalam kolom HTML/JavaScript.

Klik tombol simpan dan selesai.

Kamis, 08 Desember 2011

KIAT INDUSTRI PERTAMBANGAN


Karakter industri pertambangan cenderung merusak alam. Waktu selama 50 tahun tidaklah cukup untuk mengembalikan kondisi hutan setelah digunakan industri tambang. Demikian pembelajaran yang didapat tim Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), setelah mengadakan kunjungan kerja di Jepang.
Menteri Lingkungan Hidup bersama timnya telah berkunjung ke beberapa kota di Jepang, awal Juni lalu. Dalam kunjungannya, Menteri Lingkungan Hidup bertemu Wakil Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Direktur Eksekutif Organisasi Kayu Tropis Internasional (ITTO) dan Walikota Yokohama.
Salah satu aktivitas Menteri adalah berkunjung dan mempelajari proyek reklamasi hutan bekas penambangan di Ashio dan Niihama. Proyek besar-besaran dan berdana sangat besar tersebut telah berlangsung 50 tahun, dan hutan belum kembali seperti semula.
Dalam rilisnya Selasa, KLH menekankan perlunya kajian mendalam tentang manfaat dan kerugian penambangan di kawasan hutan. “Reklamasi membutuhkan kebijakan yang konsisten dan komitmen pemerintah untuk mengatur kegiatan tambang, serta memberikan skala prioritas pada kegiatan ini,” demikian pernyataan KLH.
UU Kehutanan Nomor 41/1999 menegaskan larangan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung, namun tak ada larangan untuk penambangan bawah tanah. Celah inilah yang digunakan untuk perizinan tambang bawah tanah. Kepada matanews, Menteri LH, Rachmat Witoelar, menyatakan belum ada yang mengeluarkan izin tersebut karena risikonya amat besar. KLH masih membuat pedoman pengendalian kerusakan lingkungan, yang akan dilanjutkan dengan amdal (analisis dampak lingkungan).(*vin)

INDUSTRI GARAM


Garam beryodium adalah garam konsumsi yang mengandung komponen utama Natrium Chlorida (NaCl) minimal 94,7%, air maksimal 5% dan Kalium Iodat (KIO3) sebanyak 30-80 ppm (mg/kg) serta senyawa-senyawa lain. Penyebaran garam beryodium pada masyarakat saat ini merupakan upaya pemerintah yang paling efektif dalam rangka penanggulangan masalah GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium). Garam merupakan salah satu bumbu masak yang hampir setiap makanan atau masakan membutuhkannya, sehingga dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat.
Garam juga mudah untuk diperdagangkan oleh setiap pedagang atau pengecer dengan harga yang sangat terjangkau oleh masyarakat luas, baik oleh pedagang besar (seperti supermarket) atau pedagang kecil (seperti warung). Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden RI No. 69 Tahun 1994 tanggal 13 Oktober 1994 tentang Pengadaan garam beryodium, maka telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 77/M/SK/5/1995 tanggal 4 Mei 1995 tentang Persyaratan teknis pengolahan, pengawasan dan pelabelan garam beryodium, maka perlu dilakukan penjabaran lebih lanjut mencakup prinsip dasar proses produksi dan pengendalian mutu pengolahan garam serta tata cara perizinan. Sehingga dipandang perlu adanya petunjuk teknis sebagai pedoman dalam rangka pengadaan garam beryodium yang memenuhi syarat, yaitu antara lain :
1. Proses Produksi untuk memberikan gambaran tentang pembuatan garam beryodium dengan menitikberatkan pada pencucian, pengeringan/ penirisan, yodisasi dan pengemasan.
2. Sistem Pengendalian Mutu untuk memproduksi garam beryodium sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-3556-1994.
3. Perizinan untuk menginformasikan kepada perusahaan garam beryodium maupun calon investor tentang cara memperoleh perizinan usaha industri.
Sortasi Bahan Baku Adalah proses pemilihan bahan baku garam rakyat yang kondisinya tidak seragam, tergantung dari teknik pembuatannya. Dari lamanya proses penguapan/kristalisasi digolongkan menjadi garam muda dan garam tua. Garam muda adalah proses penguapan air laut pada meja-meja kristalisasi yang dilakukan secara total (hampir tidak ada sirkulasi air) dengan waktu yang relatif pendek, sehingga hanya diperoleh garam dengan kadar NaCl yang rendah dan mengandung kadar Ca dan Mg yang relatif tinggi serta cenderung kotor (impuritas tinggi).
Sedangkan garam tua adalah garam yang diperoleh dengan proses pengkristalan yang memadai pada kondisi kepekatan antara 24ᄚ-25ᄚ Be (ᄚBe adalah derajat kepekatan suatu larutan yang dapat diukur dengan alat Hidrometer atau Baumeter). Secara bertahap sesuai dengan tingkat kepekatan larutan dan proses kristalisasi akan diperoleh:
” Garam Kualitas I, merupakan hasil proses kristalisasi pada larutan 24ᄚ- 29,5ᄚ Be dengan kadar NaCl minimal 97,1 %.
” Garam Kualitas II, merupakan sisa kristalisasi di atas pada kondisi kelarutan 29,5ᄚ-35ᄚ Be dengan kadar NaCl minimal 94,7%.
” Garam Kualitas III, merupakan sisa larutan kepekatan di atas pada kondisi >35ᄚ Be dengan kadar NaCl <94,7%.
Pada kondisi ini akan diperoleh garam dengan kadar impuritas yang cukup tinggi sehingga garam menjadi kotor karena unsur-unsur ikutan seperti bromida, magnesium, kalium dan sulfat, pada larutan semakin sulit terpisahkan dari senyawa NaCl. Dari sisi kinerja-nya ada berbagai tingkatan warna garam mulai dari warna putih transparan, putih dop dan putih kecoklatan yang dipengaruhi oleh kadar kotoran dan kadar impuritas.
Kotoran pada garam menyebabkan menurunnya mutu garam yaitu rendahnya kadar NaCl, sehingga pada garam yang kotor perlu dilakukan pencucian untuk mendapatkan garam sesuai dengan persyaratan yang ditentukan sebagai bahan baku pembuatan garam konsumsi beryodium. Catatan lapangan Garam Nasional dan penggunaannya untuk konsumsi dan industri Berdasarkan informasi yang diperoleh selama kunjungan kerja ke Industri Garam di Surabaya pada tanggal 3 Juli 2004, yaitu kunjungan ke pabrik garam rakyat PD. Sumatraco dan pabrik pengolahan garam menjadi garam-meja PT. Susanti Megah, serta diskusi dengan Asosiasi (APROGAKOB), serta perusahaan yang berkaitan dengan impor garam untuk industri antara lain PT.Asahimas, PT. Unichem, PT. Sinarmas, PT. Indofood, PT. Tjiwi Kimia, PT. Alam Semesta Abadi, PT. Garindo, PT.Cheetam Indonesia, PT.Sucofindo, dll.; bersama ini disampaikan beberapa catatan penting untuk tindak lanjut berikutnya.
A. Perluasan Industri Industri yang melakukan perluasan melebihi 30% dari kapasitas produksi yang diizinkan sesuai Izin Usaha Industri yang dimiliki, diwajibkan memperoleh Izin Perluasan. Untuk perusahaan Penanaman Modal Asing, Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan masa berlakunya diberikan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967, juga No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing serta peraturan pelaksanaannya, setelah mendapatkan rekomendasi persetujuan dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Izin Usaha Industri dan Perluasan bagi industri pengolahan garam beryodium diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Perindutrian dan Perdagangan setelah memiliki sertifikat SNI dan Surat Penunjukan dari Direktorat Jenderal Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan (IKAHH). Indonesia telah memiliki 11 wilayah sentra produksi garam, yaitu Pati, Rembang, Demak (Jateng), Indramayu dan Cirebon (Jabar), Sampang, Pamekasan, Pasuruan (Jatim), Jeneponto (Sulsel), Bima (NTB), dan Kupang (NTT). Total Produksi garam nasional tahun 2000 mencapai 902.752 ton. Tahun 2002 produksi naik menjadi 1,2 juta ton. Namun, dari jumlah tersebut, sekitar 60 persen merupakan garam kelas dua dan tiga, sedang sisanya merupakan garam industri (Selasa, 01 Juni 2004 | 19:20 WIB TEMPO Interaktif)
Industri garam nasional yang sebenarnya berasal dari garam rakyat tradisional (mutu rendah) yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi garam briket (untuk bahan pengawet dan keperluan industri), garam halus (garam meja) dan sangat halus (bahan baku hujan buatan) serta makin bersih dan baik kualitasnya (tinggi NaCl-nya dan rendah kadar airnya) tersebut; dihasilkan terutama di sentra-sentra garam yang terletak di : ” Barat : Cirebon ” Tengah : Pati, Rembang, Gresik dan Pulau Madura ” Timur : NTB (Bima), NTT dan Sulawesi Selatan (Jeneponto), yang pada saat ini hanya menghasilkan produksi rata-rata 1 juta ton / tahun. Produksi garam rakyat ini hanya dapat diharapkan selama musim kering saja, yang berjalan secara efektif selama kurang-lebih 3-4 bulan saja selain 1,5 bulan sebelumnya untuk masa persiapan produksi; untuk keperluan sisa waktu dalam satu tahun, diperlukan adanya stok garam yang cukup banyak. Belakangan ini, penggunaan garam sebagai konsumsi sangat kecil bila dibandingkan dengan penggunaannya sebagai bahan baku untuk pengolahan / industri (terutama untuk pabrik pulp dan industri yang membutuhkan banyak chlor dan soda).
Penggunaan garam untuk industri secara nasional mencapai 1,9 – 2 juta ton / tahun, sedangkan untuk konsumsi hanya membutuhkan sekitar 0,8 juta ton / tahun; sehingga kebutuhan nasional akan garam mencapai 2,7 – 2,8 juta ton / tahun. Kekurangan supply garam (terutama untuk industri) tersebut dipenuhi dengan import garam (dari Australia) sebanyak 1,7 – 1,8 juta ton / tahun. Menurut informasi Business News (10 Juli 2004), Indonesia telah mampu mengekspor garam ke Thailand, Malaysia, dan Taiwan sebanyak 5.700 ton dengan nilai sekitar Rp. 1 Milyar.
B. Permasalahan Industri Garam Adanya bencana alam La-Nina pada tahun 1998/99, telah menyebabkan produksi garam nasional mengalami penurunan yang luar biasa dan menyebabkan kelangkaan garam sampai dengan tahun 2001. Selama itu, industri yang tadinya juga menggunakan bahan baku yang sebagian berasal dari garam rakyat telah terbiasa dengan garam import yang tinggi mutunya, sehingga saat supply pulih kembali masih enggan untuk menggunakan bahan baku yang berasal dari garam rakyat yang rendah mutunya (meskipun murah). Adanya kelebihan produksi sekitar 0,2 juta ton / tahun (kebanyakan garam rakyat dipergunakan untuk konsumsi) tersebut menyebabkan petani garam mengeluh, karena industri enggan menerima garam rakyat.
Hal ini yang menyebabkan diterbitkannya SK Menperindag no. 360/MPP/Kep/5/2004 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2004, yang mengatur tentang
(1) kewajiban bagi industri yang mengimpor garam (importir terdaftar garam) untuk membeli 50% kebutuhannya dari garam lokal terlebih dahulu,
(2) dilarang mengimpor garam pada masa tertentu (1 bulan sebelum panen, selama panen dan 2 bulan setelah panen garam rakyat), serta dilarang mengimpor garam bila harga garam rakyat terlalu rendah (dibawah Rp.145.000/ton untuk mutu K1, Rp.100.000/ton untuk K2, dan Rp.70.000 untuk K3). Bagi industri pengguna garam besar diatas, terbitnya SK. No. 360/MPP/Kep/5/2004 (pengaturan tambahan dan serta-merta ini) dianggap berpotensi menghambat kelancaran produksinya, karena beberapa industri hanya mempunyai stok garam untuk keperluan 1-1,5 bulan ke depan saja (diperlukan waktu cukup lama untuk mengimpornya). Pada saat kejelasan tentang perusahaan mana dan bagaimana prosedurnya untuk dapat menjadi importir terdaftar garam tersebut belum ada, salah satu perusahaan (Susanti Megah) bahkan telah dipanggil polisi untuk dimintai keterangan karena pelanggaran, sementara SK no. 360 tersebut baru mulai berlaku sejak 1 Juli 2004.
Upaya untuk meningkatkan mutu dan jumlah garam rakyat yang diproduksi juga mengalami banyak kendala, antara lain :
(1) makin buruknya mutu air laut sebagai bahan baku pembuatan garam,
(2) makin sempit dan kecilnya petak-petak ladang garam karena kepemilikan per orang/penguasaan lahan yang terbatas,
(3) bersaing dengan penggunaan lahan yang lebih produktif,
(4) lamanya musim hujan dan tingginya curah hujan pada waktu tertentu,
(5) makin tingginya biaya produksi di saat harga garam rakyat jatuh, dll.
C. Industri Garam di Negara lain Pada saat ini, Australia, Mexico atau China dianggap sebagai negara produsen garam yang besar di dunia. Ladang garam Australia yang dikelola secara besar-besaran dapat menghasilkan sekitar 70 cm endapan garam dan hanya 50 cm bagian atas yang diambil, sehingga mutunya baik. Produksi ladang garam Australia seluas + 10.000 Ha dan mendapat sinar matahari yang lebih panjang / panas, dapat menghasilkan 1 juta ton / tahun. Namun sistem industri garam di China (dengan 4 musim dan dikelola dalam skala yang lebih kecil) mungkin lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.
D. Langkah Penyelesaian Masalah Penyelesaian masalah garam secara nasional ini dapat dibagi dalam beberapa tahap, a.l. :
1. Jangka Pendek : Koordinasi pengaturan tata-niaga impor garam
2. Jangka Menengah dan Panjang : Penataan berbagai kebijakan untuk meningkatkan mutu dan jumlah produksi garam
Ad.1. Koordinasi pengaturan tata-niaga impor garam :
a. Perlu segera diinventarisasi jumlah kebutuhan garam dan jadwal pemenuhannya dari masing-masing industri yang penggunaan bahan baku garamnya besar.
b. Perlu diinventarisasi berapa besar stok garam yang kini dimiliki masing-masing industri tersebut.
c. Permasalahan dan Usulan pemecahan yang diajukan oleh Asosiasi (APROGAKOB). Berdasarkan itu, diharapkan masalah ini telah dapat dibawa ke Departemen terkait kemudian jika belum dapat dipecahkan, maka diadakan rapat sidang terbatas bidang perekonomian dalam waktu tidak terlalu lama.
Ad.2. Penataan berbagai kebijakan untuk meningkatkan mutu dan jumlah produksi :
a. Untuk Proyek Garam Nasional, perlu dicari alternatif lahan-lahan yang lebih sesuai (relokasi) dengan industri garam rakyat (relatif luas lahannya, dekat dengan air laut yang sedikit pencemarannya, bertemperatur tinggi/kering dan banyak matahari); yang dikaitkan dengan Rencana Tata Ruang Nasional seperti halnya di Indonesia bagian Timur (NTT).
b. Menggalang kerjasama dengan Pemda di daerah tersebut (MOU dengan Pemda NTT perlu segera diwujudkan dalam bentuk kegiatan nyata)
c. Perlu adanya bantuan teknik (pembinaan) bagi Pemda dan masyaraat di daerah NTT tersebut, dalam proses produksi garam yang lebih efisien.
d. Bila saat ini usulan usaha yang diajukan dalam rangka kerjasama dengan Pemda NTT masih belum feasible (IRR vs Cost of Capital), mungkin perlu adanya perubahan asumsi bahwa produksi tersebut hanya untuk keperluan dalam negeri saja menjadi sebagian akan diekspor (kebutuhan Indonesia relatif kecil bila dibandingkan dengan China atau India di masa depan) melalui kerjasama pemasaran dengan Australia melalui Darwin ?
e. Perlu meningkatkan nilai garam yang diprodusir kearah industri garam turunan yang bernilai tinggi Catatan tambahan :
1. APROGAKOB dapat menunjukkan peran utama bagi anggota-anggotanya guna memberikan masukan yang dibutuhkan dalam perbaikan kebijakan Pemerintah.
2. Asosiasi tersebut juga perlu melakukan studi, ulasan, pelatihan dan peningkatan Riset/Pengembangan bagi kepentingan industri garam yang terkait.
3. Sebagaimana disebutkan diatas, perlu ditinjau potensi lokasi KTI bagi perluasan industri garam di Indonesia; mingingat Darwin (Australia) akan menjadi pusat perdagangan (seperti Singapura) untuk masa depan. Sehingga industri Garam Indonesia memiliki peluang akses ke pasar yang positif.

KIAT INDUSTRI GULA

Sejalan dengan masalah konflik Aceh ataupun isu perberasan nasional yang semakin mencuat hampir di semua media masa, isu pergulaan nasional akhir-akhir ini agak melemah. Padahal, kalau dicermati secara lebih seksama dan jernih, pergulaan nasional kini berada pada momentum yang sangat menentukan yaitu mulai bangkit dan selanjutnya menjadi industri andalan atau tenggelam untuk selamanya. Dengan perkataan lain, sekarang adalah saatnya industri gula untuk bangkit; jika tidak, industri gula akan tenggelam untuk menjadi kenangan sejarah.
Ada beberapa landasan yang memungkinkan industri gula Indonesia untuk mulai bangkit. Pertama, dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya ketika krisis ekonomi dimulai dan gula bukan lagi monopoli Bulog, pada saat sekarang adalah masa dimana pemerintah memberikan dukungan yang cukup kuat terhadap pembangunan industri gula Indonesia. Hal ini tercermin dari beberapa dukungan kebijakan pemerintah, memalui berbagai instrumen kebijakan, yang sangat kondusif untuk pembangunan industri gula Indonesia. 
Kebijakan pemerintah yang tetap mempertahankan tarif impor gula sebesar Rp 700/kg merupakan salah satu konsistensi dukungan tersebut. Walaupun pemerintah mendapat tekanan agar mencabut kebijakan tersebut, pemerintah tetap mempertahankan kebijakan tersebut. Di samping dilandasi argumen fairness kaitannya dengan distorsi/proteksi yang dilakukan negara lain, kebijakan tersebut cukup efektif dalam melindungi industri gula Indonesia dari situasi perdagangan yang sangat distortif.
Dukungan kebijakan pemerintah tersebut kembali diperkuat oleh Kepmenperindag No. 43/MPP/Kep/9/2002, tertanggal 23 September 2002. Esensi dari kebijakan ini, disamping membatasi pelaku importir yaitu hanya importir produsen dan importir terdaftar, impor dapat dilakukan bila harga di tingkat petani adalah minimal Rp 3100/kg. Kebijakan yang pada dasarnya membatasi penawaran gula impor diharapkan dapat memberi dorongan pertumbuhan industri gula serta peningkatan dan sekaligus stabilitas pendapatan petani tebu. Walaupun tekanan untuk mencabut SK tersebut sempat bergema cukup kuat, pemerintah berketatapan mempertahankan kebijakan tersebut.
Dukungan kebijakan lainnya yang diberikan oleh pemerintah adalah melalui program-program yang sering disebut sebagai program revitalisasi atau akselerasi pembangunan industri gula Indonesia. Terkait dengan program tersebut, pemerintah menganggarkan dana sekitar Rp 65 miliar pada tahun 2003 untuk program pembibitan dan perbaikan pada tingkat system usahatani. Pemerintah bahkan berkeinginan untuk meningkatkan anggaran tersebut pada masa mendatang untuk mewujudkan semacam swasembada gula.
Dukungan harga secara tidak langsung juga dilakukan oleh pemerintah melalui Bulog yang menyediakan semacam dana talangan untuk membeli gula petani dan PTPN dengan harga Rp 3410/kg. Kebijakan tersebut menyerupai kebijakan harga provenue yang menjamin harga minimum yang dapat diterima petani. Kebijakan ini sangat efektif untuk mendorong perluasan areal tebu rakyat sehingga inefisiensi di pabrik gula (PG) sebagai akibat kekurangan bahan baku secara bertahap dapat diatasi.
Kedua, Makin menguatnya organisasi petani seperti Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) juga merupakan momentum yang baik untuk kebangkitan industri gula Indonesia. Makin solidnya organisasi tersebut memudahkan dalam melakukan upaya-upaya koordinasi baik antar petani, petani dengan PG, dan petani dengan pemerintah. Di samping itu, solidnya organisasi petani juga memungkinkan peningkatan bargaining position industri gula, tidak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek politis. Hal ini sangat jelas dari berbagai komunikasi yang telah dilakukan APTR, baik kepada jajaran eksekutif maupun pada legeslatif. 
Ketiga, tekanan yang bertubu-tubi yang sempat dialami oleh PG juga mulai mengajarkan PG untuk beorperasi secara lebih efisien, responsif, dan dinamis. Beberapa PG sudah mulai melakukan berbagai pembenahan, seperti dalam hal pembenahan efisiensi teknis, perbaikan hubungan kemiteraan dengan petani, dan berbagai perbaikan manajemen. Upaya-uopaya ini jika dipertahankan tentu merupakan momentum yang baik untuk membangkitkan kembali industri gula Indonesia.
Keempat, momentum kebangkitan ini juga potensial mendapat dorongan factor eksternal yaitu mulai adanya wacana bahkan upaya pengurangan intervensi/proteksi oleh-oleh negara produsen dan konsumen utama. Sebagai contoh adalah Amerika yang merupakan salah satu produsen dan konsumen utama dengan tingkat distorsi yang tinggi. Walaupun saat ini tingkat intervensi masih tinggi, pemerintah Amerika secara konsisten mendapat tekanan untuk mengurangi intervensi. Intervensi untuk industri guila di Amerika cukup membebani pemerintah Amerika karena biaya intervensi diperkirakan sekitar US$ 1.9 miliar per tahun. Kesejahteraan yang hilang (welfare loss) sebagai akibat intervensi diperkirakan mencapai sekitar US$ 1 miliar per tahun. Oleh karena itu, pemerintah Amerika mulai memikirkan alternatuf kebijakan yang tingkat distorsinya lebih ringan seperti yang dikenal sebagai payment-in-kind, fixed direct payment, dan buy- out program (Kennedy 2001).
Momentum yang baik tersebut bisa saja tidak dapat dimanfaatkan bila beberapa hal yang potensial menjadi hambatan atau kendala tidak diantipisasi dengan tepat. Faktor pertama adalah berkaitan dengan impelemtasi kebijakan tataniaga impor yang secara umum membatasi importir terdaftar menjadi hanya PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, dan Bulog. Jika badan usaha tersebut tidak mampu mendukung pelaksanaan kebijakan tataniaga impor, maka momentum yang baik tersebut akan hilang. Gejolak harga yang pernah terjadi pada bula April karena keterlambatan impor yang dilakukan oleh badan usaha tersebut adalah salah satu contoh masalah yang tidak boleh terulang. Dengan perkataan lain, badan usaha tersebut harus mampu memanfaatkan proteksi yang diberikan dengan bekerja secara professional, bebas dari KKN, suatu kelemahan yang sering dialamatkan ke badan usaha tersebut. 
Masalah kedua yang perlu diantisipasi adalah penyelundupan. Jika penyelundupan tidak bisa ditekan, maka berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah menjadi tidak efektif. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk menekan penyelundupan menjadi sangat kritis untuk membangkitkan kembali industri gula Indonesia.
Masalah ketiga adalah upaya-upaya para rent seeker untuk mencari keuntungan yang berlebihan dari pergulaan Indonesia. Berbagai upaya dapat dilakukan oleh mereka untuk mengontrol pergualaan nasional sesuai dengan arah yang diinginkan mereka. Gejolak harga yang demikian tinggi pada bulan April 2003 salah satunya dipicu oleh upaya-upaya mereka.
Jika masalah-masalah tersebut dapat diatasi, industri gula Indonesia dapat bangkit dan secara bertahap melakukan berbagai program perbenahan. Program pembenahan seyogyanya difokuskan pada program berikut. Pertama, upaya peningkatan efisiensi di tingkat usahatani. Upaya-upaya tersebut mencakup (i) pergantian varietas yang lebih unggul; (ii) percepatan peremajaan tanaman keparasan; (iii) optimasi masa tanam dan tebang; (iv) perbaikan sistem bagi hasil. Kedua, upaya peningkatan efisiensi di tingkat PG yang mencakup (i) penutupan PG yang tidak efisien/kompetitif; (ii) rehabilitasi PG; (iii) konsolidasi PG. Ketiga, pemerintah juga perlu memberikan insentif dan dukungan kebijakan untuk pengembangan industri di luar Jawa. 
Sebagai penutup, industri gula kini punya dua pilihan yaitu mulai bangkit atau tidak bangkit untuk selamanya. Berbagai faktor mendukung industri gula untuk bangkit kembali yang memberi peluang mencapai kejayaan seperti yang pernah dicapai pada tahun 1930-an. Semua pihak kini punya kesempatan untuk dicatat dalam tinta emas sejarah kebangkitan industri gula Indonesia. Ayo …siapa berani?

Perlu Revitalisasi Industri Teh






Teh selama ini memang lebih berfungsi sebagai salah satu bahan perasa minuman. Karena memiliki manfaat, terutama untuk kesehatan, teh menjadi minuman favorit di berbagai belahan dunia.
Sejatinya, teh tak hanya digunakan untuk minuman. Semua bagian tanaman teh, kini bisa digunakan sebagai bahan-bahan kosmetik. Teh juga bisa bermanfaat untuk perawatan gigi, kulit, dan rambut.
Sekarang, tak aneh lagi menemukan teh yang digunakan untuk lotion, krim antiseptik, produk perawatan rambut seperti shampo atau kondisioner, perawatan mulut seperti pasta gigi, obat kumur, dan pelindung bibir, deodoran, produk pembersih seperti sabun. Dia juga jadi campuran alat pembersih kulit, perawatan tubuh, perawatan kaki, produk pelindung tubuh dari sengatan matahari atau yang diperlukan selama perjalanan.
Beragam manfaat tersebut tentu tak lepas dari keberadaan senyawa-senyawa dan sifat-sifat yang ada pada daun teh. Setidaknya terdapat 450 senyawa organik dan lebih dari satu senyawa anorganik bisa ditemukan dalam daun teh. Menurut Tea Board India, dalam secangkir teh terkandung energi sekitar 4 kkal, di samping flour, mangan, vitamin B kompleks, asam nikotinat, dan asam pantotenat.
Kandungan ini membuat konsumsi teh per kapita menjadi sangat tinggi. Teh merupakan minuman yang populer di Indonesia. Konsumsi teh di Indonesia mencapai 0,8 kg per kapita per tahun. Sayangnya, angka itu masih jauh di bawah negara-negara lain di dunia walaupun Indonesia merupakan negara penghasil teh terbesar keenam di dunia.
Berdasarkan data terakhir, konsumsi teh per kapita paling tinggi adalah Turki dengan 2,1 kg. Setelah itu baru Inggris, negeri yang menjadikan teh sebagai perlambang aristokrasi, dengan 2,1 kg. Penduduk Maroko, negara di Afrika Utara, rata-rata mengkonsumsi 1,4 kg teh setiap tahunnya.
Dari sisi produksi, India menjadi penghasil teh terbesar di dunia. India memiliki wilayah perkebunan teh paling besar dan terkenal, yakni Darjeerling, Assam, dan Nilgiri.
Sementara di Indonesia, produksi teh sejak tahun 2002 mengalami penurunan. Padahal, harga teh nasional dan internasional terus melonjak. Hal ini disebabkan agribisnis teh belum pulih sehingga kualitas dan produksi turun. Karena itu penting membuat pasar teh Indonesia.
“Untuk itu harus dicari terobosan bagaimana kita menciptakan hal baru,” ujar Agus Pakpahan, Deputi Meneng BUMN bidang Agro Industri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan baru-baru ini di Jakarta.
Salah satunya adalah dengan mengadakan Indonesia Tea Auction atau lelang teh Indonesia sehingga banyak mendatangkan pembeli. Aktivitas itu, diyakini, akan berimbas pada agrobisnis teh nasional.
Produksi teh Indonesia pernah mencapai rekornya pada 169 ribu ton pada tahun 2003. Setahun sebelumnya, angka itu masih 162 ribu ton. Setelah itu, produksi teh terus melorot, yakni 160 ribu ton (2004), 156 ribu ton (2005), 140 ribu ton (2006) dan tahun lalu 150 ribu ton.
“Sejak 2002 produksi kita yang pernah mencapai 160 ribu ton, saat ini tinggal 140 ribu ton,” imbuh Agus. Padahal konsumsi dunia sedang naik, harga teh internasional pun mencapai US$ 1,93 per kg. Angka itu cukup jauh di atas harga nasional yang US$ 1,34 per kg.
Ketua Umum Asosiasi Teh Indonesia, Insyaf Malik, mengakui kondisi teh nasional masih stagnan. Mutu produk yang kurang konsisten menyebabkan teh Indonesia kalah bersaing dengan produk teh yang diekspor sejumlah negara pesaing.
Di pasar dunia, teh Indonesia hanya dihargai US$ 1,4 per kg. Harga itu masih jauh lebih rendah dibanding teh Kenya yang US$ 2 per kg dan Sri Lanka yang US$ 1,8 per kg.
“Sehingga Indonesia hanya menempati posisi ke lima pengekspor teh dunia setelah Kenya, Cina, Sri Lanka dan India,” Insyaf menjelaskan.
Untuk mendongkrak produktivitas nasional, bisa dilakukan melalui produktivitas kebun yang telah lama tidak dikelola sesuai standar yang berlaku. Selain itu, kualitas bibit juga sangat penting untuk menghasilkan pucuk teh sesuai standar.
Khusus untuk BUMN, Insyaf berharap perkebunan dapat terlibat dalam pemberdayaan petani teh melalui tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR).
Senada dengan Insyaf, Ketua Umum Dewan Teh Indonesia Abdul Halik menyatakan dari luas perkebunan teh yang mencapai 142 ribu hektare, 49% milik rakyat, 29% milik BUMN, dan 25% milik swasta. Namun dengan jumlah lahan rakyat yang terluas hanya memproduksi 23%, sedangkan BUMN mencapai 40%-nya. “Perkebunan teh milik rakyat itu harus direvitalisasi,” kata Halik.
Dalam waktu dekat, lanjut Halik, Dewan Teh Indonesia akan memprakarsai satu merek produksi teh dari PT Perkebunan Nusantara IV, VII,VIII dan XII, dengan nama teh PTPN. Dengan satu merek, diharapkan mutunya akan terjaga.

Author

industri rumahan
Lihat profil lengkapku

Pengikut

pengunjung .

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

search ?