Kamis, 08 Desember 2011

INDUSTRI GARAM


Garam beryodium adalah garam konsumsi yang mengandung komponen utama Natrium Chlorida (NaCl) minimal 94,7%, air maksimal 5% dan Kalium Iodat (KIO3) sebanyak 30-80 ppm (mg/kg) serta senyawa-senyawa lain. Penyebaran garam beryodium pada masyarakat saat ini merupakan upaya pemerintah yang paling efektif dalam rangka penanggulangan masalah GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium). Garam merupakan salah satu bumbu masak yang hampir setiap makanan atau masakan membutuhkannya, sehingga dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat.
Garam juga mudah untuk diperdagangkan oleh setiap pedagang atau pengecer dengan harga yang sangat terjangkau oleh masyarakat luas, baik oleh pedagang besar (seperti supermarket) atau pedagang kecil (seperti warung). Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden RI No. 69 Tahun 1994 tanggal 13 Oktober 1994 tentang Pengadaan garam beryodium, maka telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 77/M/SK/5/1995 tanggal 4 Mei 1995 tentang Persyaratan teknis pengolahan, pengawasan dan pelabelan garam beryodium, maka perlu dilakukan penjabaran lebih lanjut mencakup prinsip dasar proses produksi dan pengendalian mutu pengolahan garam serta tata cara perizinan. Sehingga dipandang perlu adanya petunjuk teknis sebagai pedoman dalam rangka pengadaan garam beryodium yang memenuhi syarat, yaitu antara lain :
1. Proses Produksi untuk memberikan gambaran tentang pembuatan garam beryodium dengan menitikberatkan pada pencucian, pengeringan/ penirisan, yodisasi dan pengemasan.
2. Sistem Pengendalian Mutu untuk memproduksi garam beryodium sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-3556-1994.
3. Perizinan untuk menginformasikan kepada perusahaan garam beryodium maupun calon investor tentang cara memperoleh perizinan usaha industri.
Sortasi Bahan Baku Adalah proses pemilihan bahan baku garam rakyat yang kondisinya tidak seragam, tergantung dari teknik pembuatannya. Dari lamanya proses penguapan/kristalisasi digolongkan menjadi garam muda dan garam tua. Garam muda adalah proses penguapan air laut pada meja-meja kristalisasi yang dilakukan secara total (hampir tidak ada sirkulasi air) dengan waktu yang relatif pendek, sehingga hanya diperoleh garam dengan kadar NaCl yang rendah dan mengandung kadar Ca dan Mg yang relatif tinggi serta cenderung kotor (impuritas tinggi).
Sedangkan garam tua adalah garam yang diperoleh dengan proses pengkristalan yang memadai pada kondisi kepekatan antara 24ᄚ-25ᄚ Be (ᄚBe adalah derajat kepekatan suatu larutan yang dapat diukur dengan alat Hidrometer atau Baumeter). Secara bertahap sesuai dengan tingkat kepekatan larutan dan proses kristalisasi akan diperoleh:
” Garam Kualitas I, merupakan hasil proses kristalisasi pada larutan 24ᄚ- 29,5ᄚ Be dengan kadar NaCl minimal 97,1 %.
” Garam Kualitas II, merupakan sisa kristalisasi di atas pada kondisi kelarutan 29,5ᄚ-35ᄚ Be dengan kadar NaCl minimal 94,7%.
” Garam Kualitas III, merupakan sisa larutan kepekatan di atas pada kondisi >35ᄚ Be dengan kadar NaCl <94,7%.
Pada kondisi ini akan diperoleh garam dengan kadar impuritas yang cukup tinggi sehingga garam menjadi kotor karena unsur-unsur ikutan seperti bromida, magnesium, kalium dan sulfat, pada larutan semakin sulit terpisahkan dari senyawa NaCl. Dari sisi kinerja-nya ada berbagai tingkatan warna garam mulai dari warna putih transparan, putih dop dan putih kecoklatan yang dipengaruhi oleh kadar kotoran dan kadar impuritas.
Kotoran pada garam menyebabkan menurunnya mutu garam yaitu rendahnya kadar NaCl, sehingga pada garam yang kotor perlu dilakukan pencucian untuk mendapatkan garam sesuai dengan persyaratan yang ditentukan sebagai bahan baku pembuatan garam konsumsi beryodium. Catatan lapangan Garam Nasional dan penggunaannya untuk konsumsi dan industri Berdasarkan informasi yang diperoleh selama kunjungan kerja ke Industri Garam di Surabaya pada tanggal 3 Juli 2004, yaitu kunjungan ke pabrik garam rakyat PD. Sumatraco dan pabrik pengolahan garam menjadi garam-meja PT. Susanti Megah, serta diskusi dengan Asosiasi (APROGAKOB), serta perusahaan yang berkaitan dengan impor garam untuk industri antara lain PT.Asahimas, PT. Unichem, PT. Sinarmas, PT. Indofood, PT. Tjiwi Kimia, PT. Alam Semesta Abadi, PT. Garindo, PT.Cheetam Indonesia, PT.Sucofindo, dll.; bersama ini disampaikan beberapa catatan penting untuk tindak lanjut berikutnya.
A. Perluasan Industri Industri yang melakukan perluasan melebihi 30% dari kapasitas produksi yang diizinkan sesuai Izin Usaha Industri yang dimiliki, diwajibkan memperoleh Izin Perluasan. Untuk perusahaan Penanaman Modal Asing, Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan masa berlakunya diberikan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967, juga No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing serta peraturan pelaksanaannya, setelah mendapatkan rekomendasi persetujuan dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Izin Usaha Industri dan Perluasan bagi industri pengolahan garam beryodium diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Perindutrian dan Perdagangan setelah memiliki sertifikat SNI dan Surat Penunjukan dari Direktorat Jenderal Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan (IKAHH). Indonesia telah memiliki 11 wilayah sentra produksi garam, yaitu Pati, Rembang, Demak (Jateng), Indramayu dan Cirebon (Jabar), Sampang, Pamekasan, Pasuruan (Jatim), Jeneponto (Sulsel), Bima (NTB), dan Kupang (NTT). Total Produksi garam nasional tahun 2000 mencapai 902.752 ton. Tahun 2002 produksi naik menjadi 1,2 juta ton. Namun, dari jumlah tersebut, sekitar 60 persen merupakan garam kelas dua dan tiga, sedang sisanya merupakan garam industri (Selasa, 01 Juni 2004 | 19:20 WIB TEMPO Interaktif)
Industri garam nasional yang sebenarnya berasal dari garam rakyat tradisional (mutu rendah) yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi garam briket (untuk bahan pengawet dan keperluan industri), garam halus (garam meja) dan sangat halus (bahan baku hujan buatan) serta makin bersih dan baik kualitasnya (tinggi NaCl-nya dan rendah kadar airnya) tersebut; dihasilkan terutama di sentra-sentra garam yang terletak di : ” Barat : Cirebon ” Tengah : Pati, Rembang, Gresik dan Pulau Madura ” Timur : NTB (Bima), NTT dan Sulawesi Selatan (Jeneponto), yang pada saat ini hanya menghasilkan produksi rata-rata 1 juta ton / tahun. Produksi garam rakyat ini hanya dapat diharapkan selama musim kering saja, yang berjalan secara efektif selama kurang-lebih 3-4 bulan saja selain 1,5 bulan sebelumnya untuk masa persiapan produksi; untuk keperluan sisa waktu dalam satu tahun, diperlukan adanya stok garam yang cukup banyak. Belakangan ini, penggunaan garam sebagai konsumsi sangat kecil bila dibandingkan dengan penggunaannya sebagai bahan baku untuk pengolahan / industri (terutama untuk pabrik pulp dan industri yang membutuhkan banyak chlor dan soda).
Penggunaan garam untuk industri secara nasional mencapai 1,9 – 2 juta ton / tahun, sedangkan untuk konsumsi hanya membutuhkan sekitar 0,8 juta ton / tahun; sehingga kebutuhan nasional akan garam mencapai 2,7 – 2,8 juta ton / tahun. Kekurangan supply garam (terutama untuk industri) tersebut dipenuhi dengan import garam (dari Australia) sebanyak 1,7 – 1,8 juta ton / tahun. Menurut informasi Business News (10 Juli 2004), Indonesia telah mampu mengekspor garam ke Thailand, Malaysia, dan Taiwan sebanyak 5.700 ton dengan nilai sekitar Rp. 1 Milyar.
B. Permasalahan Industri Garam Adanya bencana alam La-Nina pada tahun 1998/99, telah menyebabkan produksi garam nasional mengalami penurunan yang luar biasa dan menyebabkan kelangkaan garam sampai dengan tahun 2001. Selama itu, industri yang tadinya juga menggunakan bahan baku yang sebagian berasal dari garam rakyat telah terbiasa dengan garam import yang tinggi mutunya, sehingga saat supply pulih kembali masih enggan untuk menggunakan bahan baku yang berasal dari garam rakyat yang rendah mutunya (meskipun murah). Adanya kelebihan produksi sekitar 0,2 juta ton / tahun (kebanyakan garam rakyat dipergunakan untuk konsumsi) tersebut menyebabkan petani garam mengeluh, karena industri enggan menerima garam rakyat.
Hal ini yang menyebabkan diterbitkannya SK Menperindag no. 360/MPP/Kep/5/2004 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2004, yang mengatur tentang
(1) kewajiban bagi industri yang mengimpor garam (importir terdaftar garam) untuk membeli 50% kebutuhannya dari garam lokal terlebih dahulu,
(2) dilarang mengimpor garam pada masa tertentu (1 bulan sebelum panen, selama panen dan 2 bulan setelah panen garam rakyat), serta dilarang mengimpor garam bila harga garam rakyat terlalu rendah (dibawah Rp.145.000/ton untuk mutu K1, Rp.100.000/ton untuk K2, dan Rp.70.000 untuk K3). Bagi industri pengguna garam besar diatas, terbitnya SK. No. 360/MPP/Kep/5/2004 (pengaturan tambahan dan serta-merta ini) dianggap berpotensi menghambat kelancaran produksinya, karena beberapa industri hanya mempunyai stok garam untuk keperluan 1-1,5 bulan ke depan saja (diperlukan waktu cukup lama untuk mengimpornya). Pada saat kejelasan tentang perusahaan mana dan bagaimana prosedurnya untuk dapat menjadi importir terdaftar garam tersebut belum ada, salah satu perusahaan (Susanti Megah) bahkan telah dipanggil polisi untuk dimintai keterangan karena pelanggaran, sementara SK no. 360 tersebut baru mulai berlaku sejak 1 Juli 2004.
Upaya untuk meningkatkan mutu dan jumlah garam rakyat yang diproduksi juga mengalami banyak kendala, antara lain :
(1) makin buruknya mutu air laut sebagai bahan baku pembuatan garam,
(2) makin sempit dan kecilnya petak-petak ladang garam karena kepemilikan per orang/penguasaan lahan yang terbatas,
(3) bersaing dengan penggunaan lahan yang lebih produktif,
(4) lamanya musim hujan dan tingginya curah hujan pada waktu tertentu,
(5) makin tingginya biaya produksi di saat harga garam rakyat jatuh, dll.
C. Industri Garam di Negara lain Pada saat ini, Australia, Mexico atau China dianggap sebagai negara produsen garam yang besar di dunia. Ladang garam Australia yang dikelola secara besar-besaran dapat menghasilkan sekitar 70 cm endapan garam dan hanya 50 cm bagian atas yang diambil, sehingga mutunya baik. Produksi ladang garam Australia seluas + 10.000 Ha dan mendapat sinar matahari yang lebih panjang / panas, dapat menghasilkan 1 juta ton / tahun. Namun sistem industri garam di China (dengan 4 musim dan dikelola dalam skala yang lebih kecil) mungkin lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.
D. Langkah Penyelesaian Masalah Penyelesaian masalah garam secara nasional ini dapat dibagi dalam beberapa tahap, a.l. :
1. Jangka Pendek : Koordinasi pengaturan tata-niaga impor garam
2. Jangka Menengah dan Panjang : Penataan berbagai kebijakan untuk meningkatkan mutu dan jumlah produksi garam
Ad.1. Koordinasi pengaturan tata-niaga impor garam :
a. Perlu segera diinventarisasi jumlah kebutuhan garam dan jadwal pemenuhannya dari masing-masing industri yang penggunaan bahan baku garamnya besar.
b. Perlu diinventarisasi berapa besar stok garam yang kini dimiliki masing-masing industri tersebut.
c. Permasalahan dan Usulan pemecahan yang diajukan oleh Asosiasi (APROGAKOB). Berdasarkan itu, diharapkan masalah ini telah dapat dibawa ke Departemen terkait kemudian jika belum dapat dipecahkan, maka diadakan rapat sidang terbatas bidang perekonomian dalam waktu tidak terlalu lama.
Ad.2. Penataan berbagai kebijakan untuk meningkatkan mutu dan jumlah produksi :
a. Untuk Proyek Garam Nasional, perlu dicari alternatif lahan-lahan yang lebih sesuai (relokasi) dengan industri garam rakyat (relatif luas lahannya, dekat dengan air laut yang sedikit pencemarannya, bertemperatur tinggi/kering dan banyak matahari); yang dikaitkan dengan Rencana Tata Ruang Nasional seperti halnya di Indonesia bagian Timur (NTT).
b. Menggalang kerjasama dengan Pemda di daerah tersebut (MOU dengan Pemda NTT perlu segera diwujudkan dalam bentuk kegiatan nyata)
c. Perlu adanya bantuan teknik (pembinaan) bagi Pemda dan masyaraat di daerah NTT tersebut, dalam proses produksi garam yang lebih efisien.
d. Bila saat ini usulan usaha yang diajukan dalam rangka kerjasama dengan Pemda NTT masih belum feasible (IRR vs Cost of Capital), mungkin perlu adanya perubahan asumsi bahwa produksi tersebut hanya untuk keperluan dalam negeri saja menjadi sebagian akan diekspor (kebutuhan Indonesia relatif kecil bila dibandingkan dengan China atau India di masa depan) melalui kerjasama pemasaran dengan Australia melalui Darwin ?
e. Perlu meningkatkan nilai garam yang diprodusir kearah industri garam turunan yang bernilai tinggi Catatan tambahan :
1. APROGAKOB dapat menunjukkan peran utama bagi anggota-anggotanya guna memberikan masukan yang dibutuhkan dalam perbaikan kebijakan Pemerintah.
2. Asosiasi tersebut juga perlu melakukan studi, ulasan, pelatihan dan peningkatan Riset/Pengembangan bagi kepentingan industri garam yang terkait.
3. Sebagaimana disebutkan diatas, perlu ditinjau potensi lokasi KTI bagi perluasan industri garam di Indonesia; mingingat Darwin (Australia) akan menjadi pusat perdagangan (seperti Singapura) untuk masa depan. Sehingga industri Garam Indonesia memiliki peluang akses ke pasar yang positif.

0 komentar:

Posting Komentar

Author

industri rumahan
Lihat profil lengkapku

Pengikut

pengunjung .

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

search ?