Para anggota Komisi Minyak Kelapa Indonesia (Indonesian Palm Oil Commission/IPOC) sedang mendistribusikan hal-hal yang salah dalam mengemukakan sesuatu yang benar, menurut beberapa orang yang telah melihat presentasi dari anggota komisi tersebut.
Para pegawai ini rupanya berpendapat bahwa perkebunan kelapa sawit menyimpan berkali-kali lipat lebih banyak CO2 daripada hutan alami, dan karenanya mengubah hutan untuk perkebunan adalah cara terbaik untuk melawan perubahan iklim.
Dalam membuat pernyataan semacam itu, para representatif Indonesia secara nyata mengabaikan data yang menunjukkan sebaliknya, meletakkan kredibilitas dari industri kelapa sawit dalam resiko, dan merusak usaha-usaha untuk memperlambat penggundulan hutan dan pengendalian dalam emisi gas rumah kaca.
Sebuah pamflet yang disebarkan oleh IPOC menyatakan: "Dibandingkan dengan hutan tropis, perkebunan kelapa sawit memiliki [sic] beberapa kelebihan ramah lingkungan, perkebunan menyimpan lebih banyak karbon dioksida (CO2) dan melepaskan lebih banyak oksigen (O2) dibandingkan dengan hutan tropis, yang mana ini menguntungkan bagi lingkungan."
Beberapa ilmuwan akan mendukung pernyataan bahwa perkebunan kelapa sawit melepas lebih banyak karbon dibandingkan dengan hutan tropis alami. Bahkan, beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit, jika dibangun di daerah lahan gambut dan hutan alami, menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan hutan alami. Jika penggunaan pupuk dan emisi dari proses dimasukkan ke dalam perhitungan, dampak pada iklim dari pengubahan hutan alami untuk kelapa sawit bahkal lebih besar lagi.
Seperti kasus pada tumbuhan apapun, pohon-pohon kelapa sawit memang menyita karbon karena saat mereka tumbuh - karbon adalah blok pertumbuhan dasar dalam jaringan tumbuhan. Walau demikian, proses penggundulan hutan dalam rangka mendirikan sebuah perkebunan melepaskan lebih banyak karbon dibandingkan yang akan digunakan oleh kelapa sawit-kelapa sawit yang tumbuh. Jadi, sementara sebuah perkebunan kelapa sawit baru akan tumbuh lebih cepat - dan menyita karbon lebih tinggi pada hitungan tahunan - dibandingkan dengan hutan alami yang terus beregenerasi, pada akhirnya, perkebunan minyak ini akan tetap menyimpan lebih sedikit karbon (50-90 persen lebih rendah dalam 20 tahun) dari pada kawasan hutan aslinya.
Pelepasan karbon bahkan lebih tinggi jika perkebunan didirikan di lahan gambut, yang menyimpan karbon dalam jumlah banyak namun melepasnya saat mereka kekurangan air. (terbuka karena udara, gambut secara cepat beroksidasi, dekomposisasi, dan melepaskan karbon dioksida.)
"Emisi dari pengubahan hutan jelas mempercepat fiksasi potensial karbon dari penanaman kelapa sawit," Germer dan Sauerborn menulis dalam makalah tahun 2007 yang dicetak dalam jurnal Environment, Development and Sustainability. "Pengubahan hutan pada tanah bermineral untuk mengembangkan panen tunggal kelapa sawit menyebabkan bersihnya pelepasan 650 Mg karbon dioksida ekuivalen per hektar, sementara emisi dari pengubahan hutan gambut lebih tinggi karena dekomposasi dari gambut kering dan penghasilan emisi dari karbon oksid dan nitro oksid."
Germer dan Sauerborn melanjutkan: "Pengubahan dari satu hektar hutan pada gambut melepaskan lebih dari 1.300 Mg karbon dioksida ekuivalen selama putaran 25 tahun pertama pertumbuhan kelapa sawit. Bergantung pada kedalaman gambut, dekomposasi secara terus-menerus memperbanyak emisi dengan setiap tambahan putaran sebesar 800 Mg karbondioksida ekuivalen per hektar."
Meine van Noordwijk dari World Agroforestry Center (ICRAF) mengatakan bahwa pernyataan industri tentang superioritas karbon untuk perkebunan jatuh saat mereka melihat gambaran besarnya.
Sementara masa hidup rata-rata dari perkebunan kelapa sawit di bawah 30-40 tahun.
Pada tanah gambut, keseimbangan karbon bahkan lebih tidak baik bagi perkebunan kelapa sawit karena emisi dari pengeringan.
Van Noordwijk menambahkan: "Stok karbon bawah tanah di lahan gambut mungkin saja ribuan dari t C/ha, dan yang dilepaskan mungkn 30-50 t C/ha/tahun - jadi penyerapan di atas tanah dengan pertumbuhan cepat bubur kertas atau kelapa sawit hanya 10 persen dari kehilangan dari gambut secara bersamaan. Adalah suatu eksperimen besar dalam fertilisasi CO2 jika Anda menumbuhkan pepohonan di gambut yang telah dikeringkan sedalam 80 cm sesuai standar praktek di Indonesia."
Data dari Wetlands International, sebuah kelompok lingkungan hidup terkemuka yang telah mengeluarkan penelitian yang banyak dipuji tentang emisi dari degradasi dan perusakan lahan gambut, menunjukkan bahwa produksi darisatu ton minyak kelapa di lahan gambut menghasilkan emisi karbon dioksida hingga 33 ton. Wetlands International memperkirakan bahwa 1,5 juta hektar dari minyak kelapa yang ditanam di lahan gambut di Indonesia menyumbangkan 100 ton emisi karbon dioksida per hektar, hanya dari pengeringan saja.
Sementara data menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah bandingan bagi hutan alami dalam hal penyimpanan karbon, minyak kelapa masih dapat berperan dalam usaha pengurangan emisi gas rumah kaca. Kelapa saawit adalah satu dari bibit minyak yang paling produktif di dunia - dalam ukuran berdasar per unit area, biodiesel dihasilkan dari kelapa sawit jauh melampaui bio diesel konvensional seperti jagung, kedelai, bibit gula rapeseet, dan tebu.
Dengan kata lain, menggunakan kelapa sawit sebagai sumber biodiesel akan membutuhkan lebih sedikit lahan konversi untuk stok bioenergi dibanding sumber lain, dan menyisakan lebih banyak lahan untuk digunakan kepentingan lain, termasuk konservasi.
Kunci untuk memaksimalkan keuntungan potensial dari minyak kelapa adalah dengan mendirikan perkebunan di sepuluh dari ribuan hektar lahan sisa yang ditinggalkan dan sudah terlanjur gundul, sementara melindungi lahan gambut dan hutan alami negara yang masih ada untuk keanekaragaman hayati, penyimpan karbon, dan kegunaan ekosistem lainnya.
Untuk menjadikannya kenyataan, pemerintah Indonesia, produsen minyak kelapa, dan konsumen minyak kelapa harus bekerja sama untuk membangun sebuah mekanisme pelacakan rantai persediaan yang transparan dan kuat untuk minyak kelapa atau paling tidak untuk memastikan bahwa hutan alami dan lahan gambut tidak diubah untuk produksi.
Meski dapat dimengerti bahwa industri minyak kelapa ingin menggambarkan dengan cara yang terbaik, kepentingan utama mereka seharusnya terletak pada menjalankan usaha-usaha ini daripada mencoba menipu masyarakat. Taktik seperti itu di masa depan dapat justru menghasilkan serangan balik dari konsumen.
Penulis adalah enterpreneur Amerika Serikat dengan latar belakang ekonomi. Dia dapat dihubungi di mongabay.com
Para pegawai ini rupanya berpendapat bahwa perkebunan kelapa sawit menyimpan berkali-kali lipat lebih banyak CO2 daripada hutan alami, dan karenanya mengubah hutan untuk perkebunan adalah cara terbaik untuk melawan perubahan iklim.
Dalam membuat pernyataan semacam itu, para representatif Indonesia secara nyata mengabaikan data yang menunjukkan sebaliknya, meletakkan kredibilitas dari industri kelapa sawit dalam resiko, dan merusak usaha-usaha untuk memperlambat penggundulan hutan dan pengendalian dalam emisi gas rumah kaca.
Sebuah pamflet yang disebarkan oleh IPOC menyatakan: "Dibandingkan dengan hutan tropis, perkebunan kelapa sawit memiliki [sic] beberapa kelebihan ramah lingkungan, perkebunan menyimpan lebih banyak karbon dioksida (CO2) dan melepaskan lebih banyak oksigen (O2) dibandingkan dengan hutan tropis, yang mana ini menguntungkan bagi lingkungan."
Beberapa ilmuwan akan mendukung pernyataan bahwa perkebunan kelapa sawit melepas lebih banyak karbon dibandingkan dengan hutan tropis alami. Bahkan, beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit, jika dibangun di daerah lahan gambut dan hutan alami, menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan hutan alami. Jika penggunaan pupuk dan emisi dari proses dimasukkan ke dalam perhitungan, dampak pada iklim dari pengubahan hutan alami untuk kelapa sawit bahkal lebih besar lagi.
Seperti kasus pada tumbuhan apapun, pohon-pohon kelapa sawit memang menyita karbon karena saat mereka tumbuh - karbon adalah blok pertumbuhan dasar dalam jaringan tumbuhan. Walau demikian, proses penggundulan hutan dalam rangka mendirikan sebuah perkebunan melepaskan lebih banyak karbon dibandingkan yang akan digunakan oleh kelapa sawit-kelapa sawit yang tumbuh. Jadi, sementara sebuah perkebunan kelapa sawit baru akan tumbuh lebih cepat - dan menyita karbon lebih tinggi pada hitungan tahunan - dibandingkan dengan hutan alami yang terus beregenerasi, pada akhirnya, perkebunan minyak ini akan tetap menyimpan lebih sedikit karbon (50-90 persen lebih rendah dalam 20 tahun) dari pada kawasan hutan aslinya.
Pelepasan karbon bahkan lebih tinggi jika perkebunan didirikan di lahan gambut, yang menyimpan karbon dalam jumlah banyak namun melepasnya saat mereka kekurangan air. (terbuka karena udara, gambut secara cepat beroksidasi, dekomposisasi, dan melepaskan karbon dioksida.)
Germer dan Sauerborn melanjutkan: "Pengubahan dari satu hektar hutan pada gambut melepaskan lebih dari 1.300 Mg karbon dioksida ekuivalen selama putaran 25 tahun pertama pertumbuhan kelapa sawit. Bergantung pada kedalaman gambut, dekomposasi secara terus-menerus memperbanyak emisi dengan setiap tambahan putaran sebesar 800 Mg karbondioksida ekuivalen per hektar."
Meine van Noordwijk dari World Agroforestry Center (ICRAF) mengatakan bahwa pernyataan industri tentang superioritas karbon untuk perkebunan jatuh saat mereka melihat gambaran besarnya.
Sementara masa hidup rata-rata dari perkebunan kelapa sawit di bawah 30-40 tahun.
Pada tanah gambut, keseimbangan karbon bahkan lebih tidak baik bagi perkebunan kelapa sawit karena emisi dari pengeringan.
Van Noordwijk menambahkan: "Stok karbon bawah tanah di lahan gambut mungkin saja ribuan dari t C/ha, dan yang dilepaskan mungkn 30-50 t C/ha/tahun - jadi penyerapan di atas tanah dengan pertumbuhan cepat bubur kertas atau kelapa sawit hanya 10 persen dari kehilangan dari gambut secara bersamaan. Adalah suatu eksperimen besar dalam fertilisasi CO2 jika Anda menumbuhkan pepohonan di gambut yang telah dikeringkan sedalam 80 cm sesuai standar praktek di Indonesia."
Data dari Wetlands International, sebuah kelompok lingkungan hidup terkemuka yang telah mengeluarkan penelitian yang banyak dipuji tentang emisi dari degradasi dan perusakan lahan gambut, menunjukkan bahwa produksi darisatu ton minyak kelapa di lahan gambut menghasilkan emisi karbon dioksida hingga 33 ton. Wetlands International memperkirakan bahwa 1,5 juta hektar dari minyak kelapa yang ditanam di lahan gambut di Indonesia menyumbangkan 100 ton emisi karbon dioksida per hektar, hanya dari pengeringan saja.
Sementara data menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah bandingan bagi hutan alami dalam hal penyimpanan karbon, minyak kelapa masih dapat berperan dalam usaha pengurangan emisi gas rumah kaca. Kelapa saawit adalah satu dari bibit minyak yang paling produktif di dunia - dalam ukuran berdasar per unit area, biodiesel dihasilkan dari kelapa sawit jauh melampaui bio diesel konvensional seperti jagung, kedelai, bibit gula rapeseet, dan tebu.
Dengan kata lain, menggunakan kelapa sawit sebagai sumber biodiesel akan membutuhkan lebih sedikit lahan konversi untuk stok bioenergi dibanding sumber lain, dan menyisakan lebih banyak lahan untuk digunakan kepentingan lain, termasuk konservasi.
Kunci untuk memaksimalkan keuntungan potensial dari minyak kelapa adalah dengan mendirikan perkebunan di sepuluh dari ribuan hektar lahan sisa yang ditinggalkan dan sudah terlanjur gundul, sementara melindungi lahan gambut dan hutan alami negara yang masih ada untuk keanekaragaman hayati, penyimpan karbon, dan kegunaan ekosistem lainnya.
Untuk menjadikannya kenyataan, pemerintah Indonesia, produsen minyak kelapa, dan konsumen minyak kelapa harus bekerja sama untuk membangun sebuah mekanisme pelacakan rantai persediaan yang transparan dan kuat untuk minyak kelapa atau paling tidak untuk memastikan bahwa hutan alami dan lahan gambut tidak diubah untuk produksi.
Meski dapat dimengerti bahwa industri minyak kelapa ingin menggambarkan dengan cara yang terbaik, kepentingan utama mereka seharusnya terletak pada menjalankan usaha-usaha ini daripada mencoba menipu masyarakat. Taktik seperti itu di masa depan dapat justru menghasilkan serangan balik dari konsumen.
Penulis adalah enterpreneur Amerika Serikat dengan latar belakang ekonomi. Dia dapat dihubungi di mongabay.com
0 komentar:
Posting Komentar