Nasib industri film di negara-negara ASEAN menjadi bahasan utama dalam Festival Film ASEAN (FFA) yang digelar di Bali. Dalam seminar, ikut berbicara Donna Smith, mantan Vice President Universal Studios.
Kondisi perfilman di ASEAN sendiri cenderung kalah bersaing dengan film Hollywood. Akibatnya, jumlah produksi dan penonton pun makin merosot. “Sekarang kami hanya memproduksi puluhan saja, padahal lima tahun lalu bisa sampai ratusan,” kata Jose Miguel De La Rosa dari Filipina.
Fenomena kalah bersaing itu terutama timbul di kalangan anak-anak muda sehingga menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya akar kebudayaan mereka. Karena itu, pemerintah Filipina memberi perhatian khusus untuk mendorong industri film lokal.
Hal yang sama disampaikan sineas dari Vietnam Dang Nath Min. Distribusi film Hollywood, kata dia, telah menjadi bisnis yang menggiurkan dan mendatangkan banyak uang. Namun, industri itu dikuasai oleh orang asing dan hanya sedikit melibatkan orang lokal.
Ajang AFF sendiri dimaksudkan sebagai ajang kerja sama untuk memperkuat film yang menjadi industri kreatif di masing-masing negara. Acara ini berlangsung dengan tema "Asean: The Global Film Connection".
Film yang diputar antara lain Eternity karya sutradara M.L. Pundhevanop Dhewakul (Film Terbaik Thailand National Film Awards 2011), Emil karya sutradara Filipina (Film Terbaik Film Academy of Philippines, 2011), danBuhohan karya sutradara Dain Said. Ada juga film Malaysia yang baru saja diputar di Toronto International Film Festival 2011.
Di Bawah Lindungan Ka’bah karya sutradara Hanny R. Saputra mewakili Indonesia. Sebelumnya film ini telah tampil dalam seleksi Academy Awards 2011 kategori Film Bahasa Asing Terbaik.
Dalam sambutan saat membuka FFA, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Pangestu menyatakan, film adalah sarana yang efektif sebagai sarana promosi kebudayaan. Seperti film Eat, Pray and Loveyang sudah membuat Bali kian terkenal.
0 komentar:
Posting Komentar