JAKARTA (Pos Kota) – Ketua Umum Asosiasi Benih Indonesia (Asbenindo) Elda D. Adiningrat meminta kepada pemerintah agar memberi waktu yang cukup bagi pengusaha benih Indonesia untuk mengembangkan produk rekayasa genetik (PRG) sampai perusahaan benih asing masuk.
“Industri dalam negeri sebenarnya tak keberatan untuk adu kemampuan di bidang benih transgenic (rekayasa genetik). Yang penting, pemerintah mau memberikan waktu yang cukup agar kami dapat mempersiapkan diri sebelum perusahaan benih asing masuk,” katanya di sela-sela diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) soal perkembangan PRG, kemarin.
Menurut Elda, seharusnya saat ini Indonesia lebih mengutamakan produk rekayasa genetika lokal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain untuk melindungi pengusaha dalam negeri produk lokal juga lebih sesuai dengan kondisi alam di sini.
Banyak produk rekayasa genetik lokal yang terbukti baik. Misalnya padi tahan wereng, tahan kekeringan, serta bisa meningkatkan produktivitas sesuai dengan kebutuhan kita dan ketersediaan lahan.
Kalau diberi waktu, seperti pada kasus hibrida. Dalam waktu 5 tahun, peneliti lokal di bidang jagung berkembang pesat dan bisa bersaing. “Ini kan kita kaget tiba-tiba pemerintah membolehkan perusahaan asing masuk.”
Elda mengakui biaya pengembangan benih rekayasa genetika cukup besar, yakni US$ 120 juta hingga US$ 300 juta per varietas. Untuk bisa menggelontorkan dana riset sebesar ini, perusahaan harus memiliki omzet US$ 15 miliar per tahun. Sebab, biaya riset dan pengembangan umumnya sekitar 20% dari omzet perusahaan.
Masalah biaya tersebut saat ini sudah sudah tidak jadi soal bagi sejumlah perusahaan benih. Namun yang lebih mereka harapkan saat ini adalah pemerintah mau menahan masuknya benih impor dan memberi waktu industri lokal mengembangkan penelitian rekayasa genetika.
Pemerintah China dan Thailand saja belum mengizinkan komersialisasi benih produk rekayasa genetika di negaranya. Di Thailand dan China, penggunaan rekayasa genetika itu baru untuk kepentingan riset. Kalau di Indonesia, menurut Elda, risetnya belum dikembangkan tetapi asing sudah boleh masuk untuk komersial.
Sementara itu, Ketua Komisi Keanekaragaman Hayati Agus Pakpahan mengatakan, pemanfaatan teknologi transgenik saat ini sudah tidak bisa lagi terelakkan, terutama di tengah ancaman krisis pangan. Rekayasa genetika adalah salah satu upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan dunia.
Namun dia mengingatkan, agar pemerintah juga memikirkan dampak penggunaan benih transgenik terhadap industri terkait. Misalnya, dengan lakunya benih transgenik maka industri pestisida akan mati.
Sedangkan Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio, mengatakan bagi petani sendiri sebenarnya tidak penting apakah benih yang digunakan tersebut berasal dari rekayasa genetika, hibrida, atau benih biasa. Yang terpenting buat mereka hasil panennya baik dan menguntungkan. Namun, pemanfaatan teknologi ini bisa jadi masalah jika Indonesia lantas tergantung kepada benih rekayasa genetika impor.
Dengan demikian Kementerian Pertanian perlu meninjau kembali dampak Peraturan Menteri Pertanian No. 61 tahun 2011 mengenai Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Ia menilai aturan pemanfaatan produk rekayasa genetika di Indonesia belum melihat masalah pertanian secara menyeluruh.(faisal/dms)
0 komentar:
Posting Komentar